Pengasuh : Nur Ridhowati, SH, Managing Partner ARN Law Firm
TANYA: Saya beragama Islam dan kami sudah menikah selama 10 tahun. Kehidupan rumah tangga awalnya sangat bahagia dan hampir sempurna dengan dikaruniai 2 anak yang sehat. Saya dan suami berasal dari keluarga yang berkecukupan dan terpandang. Suami berprofesi sebagai karyawan swasta dan berpenghasilan lebih dari cukup. Sementara saya punya usaha sendiri yang berkembang cukup pesat.
Kehidupan rumah tangga kami beberapa tahun belakangan ini sudah tidak sehat. Banyak masalah yang sudah tidak bisa dikomunikasikan berdua, bahkan sering diakhiri dengan cekcok. Suami yang dulu penyayang dan lemah lembut dalam menyelesaikan masalah berubah menjadi kasar, saya sudah tidak kuat lagi hidup bersamanya, saya ingin bercerai, bahkan awal tahun ini kami sudah pisah ranjang meski masih satu rumah.
Selama perkawinan, kami membeli rumah, mobil perhiasan, surat berharga serta rekening tabungan dan deposito. Selain itu saya pernah mendapat warisan orantua saya. Yang ingin saya tanyakan, bagaimana nanti pembagian harga bersama, Apakah saya hanya akan mendapatkan harta yang diatasnamakan saya saja?
Ny. WY di Samarinda
JAWAB: Saya sangat menyayangkan biduk rumah tangga Anda harus pecah, meskipun perceraian adalah hal yang diperbolehkan namun termasuk hal yang tidak disukai Allah SWT.
Maka saya berharap Anda dan suami bisa menyelesaikan tanpa harus menempuh perceraian, peran keluarga sebelum mengambil langkah perlu dilakukan, minta bantuan salah seorang dari masing-masing keluarga Anda untuk memediasi / membantu menyelesaikan masalah yang ada.
Namun terlepas dari itu, semua kembali kepada diri Anda, apabila perceraian adalah langkah yang tepat dan jadi alternatif terakhir yang harus ditempuh, Anda harus bersiap dengan segala risikonya.
Mengenai permasalahan pembagian harta, saya terangkan bahwa berdasarkan Undang Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawianan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) kita akan menjumpai tiga macam harta benda dalam perkawinan, yakni harta bersama, harta bawaan, dan harta perolehan. Menurut pasal 35 ayat 1 UU No 1 tahun 1974 yang dimaksud harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan. Maksudnya seluruh harta yang diperoleh sesudah suami istri berada dalam hubungan perkawinan, atas usaha mereka berdua atau usaha dari salah satu dari mereka, menjadi harta bersama. Sehingga suami maupun istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk memperlakukan harta mereka dengan persetujuan kedua belah pihak. (Pasal 89 dan 90 KHI, Red)
Jadi meskipun harta bersama itu diperoleh dari kerja suami saja, bukan berarti istri tidak punya hak atas harta bersama begitu juga sebaliknya, baik istri maupun suami sama-sama mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahtangankan harta bersama (Pasal 92, KHI, Red). Harta bersama ini dapat berupa benda berwujud, benda tidak berwujud (hak dan kewajiban), Benda bergerak, benda tidak bergerak, dan surat-surat berharga (Pasal 92, KHI, Red)
Sedangkan harta bawaan adalah harta masing-maisng suami istri yang dimiliki masing-masing sebelum terjadinya perkawianan, termasuk harta yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan. Harta ini dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. (pasal 35 ayat 2, Red)
Dan terakhir adalah harta perolehan, adalah harta masing-masing suami istri yang dimiliki sesudah mereka dalam hubungan perkawinan. Harta ini diperoleh bukan dari usaha mereka, melainkan dari hidah, wasiat, sedekah, atau warisan masing-masing.
Penguasaan harta ini seperti harta bawaan. Dikecualikan jika ada kesepakatan dalam perjanjian perkawinan, misalnya suami-istri menjadikan harta perolehan ini sebagai harta bersama. Menngenai pembagian harta bersama diatur dalam pasal 97 KHI. “Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersamasepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”
Demikian juga dalam hal cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. (Pasal 96 Ayat 1 KHI, Red)
Berdasarkan aturan hukum sudah jelas, bahwa Anda nantinya akan mendapat separuh dari total harta bersama yang Anda dapatkan bersama suami, tentu harus dibuat daftar harta kekayaan yang disertai dengan nama pemegang haknya – namun pembagian harta ini tidak berdasarkan nama pemegang hak atas harta itu lantan dalam pembagian harta bersama ia akan mendapatkannya. Setelah itu Anda dan suami bisa mmebagi secara adil dibagi separuh berdasarkan perhitungan totakl kekayaan yang tentu saja dikurangi jumlah utang atau kewajiban yang harus dibayarkan. Untuk harta yang Anda dapat dari warisan orangtua tetap milik Anda dan tidak masuk dalam perhidtungan harta bersama.
Saran kami, sebaiknya Anda mengajukan perceraian lebih dahulu baru kemudian mengajukan gugatan atas harta bersama. Hal ini untuk mempercepat proses perceraian sehingga menimbulkan akibat hukum yang pasti.
Kemudian bila Anda khawatir suami melakukan perbuatan yang merugikan harta bersama sebelum Anda menggugat cerai, Anda bisa meminta kepada Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan untuk mengamankan aset harta bersama.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat (*).
Sumber : KALTIM POST, RABU 27 APril 2011